Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI KAB. KEDIRI
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
5/Pid.Pra/2019/PN Gpr Kodir bin H. Sutrisno KEPALA KEPOLISIAN RESOR KEDIRI Cq. KEPALA SATUAN RESERSE KRIMINAL POLRES KEDIRI Minutasi
Tanggal Pendaftaran Senin, 16 Des. 2019
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penetapan tersangka
Nomor Perkara 5/Pid.Pra/2019/PN Gpr
Tanggal Surat Senin, 16 Des. 2019
Nomor Surat -
Pemohon
NoNama
1Kodir bin H. Sutrisno
Termohon
NoNama
1KEPALA KEPOLISIAN RESOR KEDIRI Cq. KEPALA SATUAN RESERSE KRIMINAL POLRES KEDIRI
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan

I.    DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN
1.    Tindakan upaya paksa, seperti penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penahanan, dan penuntutan yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan suatu tindakan perampasan hak asasi manusia. Menurut Andi Hamzah (1986:10) praperadilan merupakan tempat mengadukan pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang memang pada kenyataannya penyusunan KUHAP banyak disemangati dan merujuk pada Hukum Internasional yang telah menjadi International Customary Law. Oleh karena itu, Praperadilan menjadi satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan tersebut. Hal ini bertujuan agar hukum ditegakkan dan perlindungan hak asasi manusia sebagai tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Di samping itu, praperadilan bermaksud sebagai pengawasan secara horizontal terhadap hak-hak tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan (vide Penjelasan Pasal 80 KUHAP). Berdasarkan pada nilai itulah penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penahanan, dan penuntutan agar lebih mengedepankan asas dan prinsip kehati-hatian dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka.
2.    Bahwa sebagaimana diketahui dalam Undang- undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada Pasal 1 angka 10 menyatakan :
Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:
1.       Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
2.       Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
3. Permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh Tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
3.    Bahwa selain itu yang menjadi objek praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 KUHAP diantaranya adalah:
Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:
a.    Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
b.     anti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
4.    Dalam perkembangannya, pengaturan Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 Jo. Pasal 77 KUHAP, sering terjadi tidak dapat menjangkau fakta perlakuan aparat penegak hukum (APH) bertentangan dengan hak asasi manusia dan melanggar prinsip praduga tidak bersalah (presumption of innocence), sehingga warga negara yang berhadapan dengan hukum tidak memperoleh perlindungan hukum secara penuh dari APH yang seharusnya bertugas sebagai pengayom dan pelindung masyarakat. berdasarkan kondisi yang demikian, dalam perkembangannya dialomodir perihal sah/ tidak sah-nya penetapan tersangka dan sah/ tidak sah-nya penyitaan sebagai objek praperadilan, sehingga dapat meminimalisir tindakan sewenang-wenang yang berpotensi dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 selain mengakomodir penetapan Tersangka sebagai objek praperadilan disebabkan hukum Acara Pidana Indonesia belum menerapkan prinsip due process of law secara utuh karena tindakan aparat penegak hukum dalam mencari dan menemukan alat bukti tidak dapat dilakukan pengujian keabsahan perolehannya, Mahkamah menyatakan frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” yang tertuang dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus dimaknai sebagai “minimal dua alat bukti” yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP.
5.     Bahwa melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 memperkuat diakuinya lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan dan mengadili keabsahan penetapan tersangka, seperti pada kutipan putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 sebagai berikut :
MENGADILI,
MENYATAKAN :
Mengabulkan Permohonan untuk sebagian :
-       [dst]
-        [dst]
-        Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;
-        Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;
6.    Dengan demikian jelas bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 bahwa Penetapan Tersangka merupakan bagian dari wewenang Praperadilan. Mengingat Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, maka sudah tidak dapat diperdebatkan lagi bahwa semua harus melaksanakan Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan.
7.    Bahwa selain itu telah terdapat beberapa putusan pengadilan yang memperkuat dan melindungi hak-hak tersangka, sehingga lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan mengadili keabsahan penetapan tersangka seperti yang terdapat dalam putusan- putusan sebagai berikut :
1)      Putusan Pengadilan Negeri Bengkayang No. 01/Pid.Prap/2011/PN.BKY tanggal 18 Mei 2011
2)      Putusan Mahkamah Agung No. 88 PK/PID/2011 tanggal 17 Januari 2012
3)      Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 38/Pid.Prap/2012/Pn.Jkt.Sel tanggal 27 november 2012
4)      Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel tanggal 15 Februari 2015
5)      Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 36/Pid.Prap/2015/Pn.Jkt.Sel tanggal 26 Mei 2015
6)      Dan lain sebagainya
II.    ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN
A. PENETAPAN TERSANGKA TIDAK MEMENUHI SYARAT DAN PROSEDUR
1.    Bahwa Termohon dalam menetapkan tersangka dalam dugaan tindak pidana Penggelapan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana oleh Satreskrim POLRES Kediri kepada Pemohon hanya berdasar pada Keterangan Saksi Pelapor, yang berdasarkan asas unus testis nulus testis (satu saksi bukan saksi) tidak mencukupi klasifikasi sebagai alat bukti yang cukup dalam menyangka seseorang telah melakukan tindak pidana. Hal tersebut didasarkan atas Pemohon yang tidak pernah sama sekali dipanggil oleh pihak POLRES Kediri untuk diperiksa/diambil keterangannya sebagai tersangka. Kemudian hal tersebut diperparah dengan terbitnya Surat Perintah Penahanan Nomor: SPP/255/XII/RES.1.11/2019 tertanggal 5 Desember 2019 yang pada pertimbanganya disebutkan “…berdasarkan hasil pemeriksaan diperoleh bukti yang cukup…”  yang justru berdasarkan faktanya, setelah surat perintah penahanan tersebut diterbitkan, penyidik dari Polres Kediri masih melakukan proses pengumpulan alat bukti dengan melakukan penggeledahan dan penyitaan di kediaman Pemohon tanpa surat izin Pengadilan Negeri setempat.
2.    Bahwa berdasar pada Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor Perkara 21/PUU-XII/2014 Frasa “Bukti Permulaan”, Frasa “Bukti Permulaan Yang Cukup” dan “Bukti Yang Cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP oleh Mahkamah Konstitusi dinyatakan harus dimaknai sebagai “minimal dua alat bukti” sesuai dengan pasal 184 KUHAP. Adapun alat bukti yang dimaksudkan tersebut sudah seharusnya merupakan alat bukti yang berkaitan langsung dalam konteks pemenuhan unsur-unsur pasal yang diduga dilakukan oleh Pemohon. Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014 Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya, yang tdak pernah dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon. Dikarenakan Putusan MK bersifat final dan mengikat, serta berlaku asas Res Judicata (Putusan Hakim Harus dianggap benar) serta Putusan MK bersifat Erga Omnes (berlaku umum) sehingga berlaku sebagai undang- undang, maka harus menjadi rujukan dalam setiap proses pemeriksaan. Adapun tindakan Termohon dengan atau tanpa pemeriksaan calon Tersangka merupakan tindakan yang tidak sah, dan harus dibatalkan tentang penetapan tersangka terhadap diri Pemohon oleh Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara a quo.
3.    Bahwa patut diduga penetapan Pemohon sebagai Tersangka tidak mengikuti due process of law dan prinsip non-self incrimination karena tidak pernah sekalipun Pemohon menerima surat penetapan maupun panggilan sebagai Tersangka akan tetapi langsung dilakukan Penangkapan dan Penahanan oleh Termohon berdasarkan Surat Perintah Penangkapan Nomor: Sprint. Kap/Kap/171/XII/RES.1.11/2019 tertanggal 5 Desember 2019 dan Surat Perintah Penahanan Nomor: SPP/255/XII/RES.1.11/2019 tertanggal 5 Desember 2019. Berdasarkan Pasal 36 ayat (1) Peraturan Kapolri (Perkapolri) No. 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan, Tindakan penangkapan terhadap tersangka dilakukan dengan pertimbangan sebagai berikut:
A.    adanya bukti permulaan yang cukup; dan \
B.  tersangka telah dipanggil 2 (dua) kali berturut-turut tidak hadir tanpa alasan yang patut dan wajar.
Adapun frasa bukti permulaan yang cukup, sebagaimana disebutkan sebelumnya merupakan alat bukti sebagaimana disebutkan dalam Pasal 184 KUHAP berdasarkan Putusan Mahkamah konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP. Kesan sewenang- wenang Penyidik Polres Kediri nampak, dimana dalam pertimbangan-nya pada Surat Perintah Penangkapan No. Sprint.Kap/ 171/ XII/ RES.1.11/ 2019 menyebutkan bahwa alasan dilakukannya penangkapan Pemohon praperadilan dikarenakan Tersangka telah dipanggil 2 (dua) kali berturut-turut tidak hadir tanpa alasan yang patut dan wajar. Perlu diketahui, pertimbangan perintah penangkapan tersebut, alasan bahwa  penangkapan Pemohon praperadilan dikarenakan Tersangka telah dipanggil 2 (dua) kali berturut-turut tidak hadir tanpa alasan yang patut dan wajar merupakan alasan yang dibuat- buat, dimana Pemohon tidak pernah menolak mendatangi panggilan Termohon selaku Penyidik Polres Kediri tanpa alasan yang patut dan wajar pasca diterbitkannya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) nomor B/ 138/ X/ Res.1.11./2019 tertanggal 18 Oktober tahun 2019, dan selama Penyidikan yang dilangsungkan, Pemohon sebagai warga negara yang selama menjalani pemeriksaan baik di Polsek Puncu maupun Polres Kediri telah kooperatif dalam mendatangi panggilan- panggilan yang telah dilayangkan kepadanya secara layak berdasarkan hukum.
4.    Mahkamah Konstitusi dalam putusan nomor 21/PUU-XII/2014 menganggap syarat minimum dua alat bukti dan pemeriksaan calon tersangka  untuk transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka telah dapat memberi keterangan secara seimbang. Hal ini menghindari adanya tindakan sewenang-wenang oleh penyidik terutama dalam menentukan bukti permulaan yang cukup itu. Berdasar pada uraian diatas, maka tindakan Pemohon yang tidak memenuhi minimal 2 (dua) alat bukti sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor Perkara 21/PUU-XII/2014, serta diperiksanya Pemohon Tanpa didampingi penasihat hukum sehingga harus dinyatakan tidak sah dan tidak berdasar atas hukum (undue process of law).
B. PERBUATAN PEMOHON MURNI MERUPAKAN HUBUNGAN HUKUM KEPERDATAAN
1.    Bahwa hubungan hukum antara Pemohon Praperadilan dengan Saksi Pelapor adalah murni hubungan keperdataan dimana Sdr. Joko Siswanto sebagai Saksi Pelapor selaku pemilik usaha jagung yang meminta kepada Pemohon untuk menjualkan jagungnya. Sehingga Saksi Pelapor dalam hal ini sebagai penjual menunjuk Pemohon sebagai perantara (makelaar) dalam transaksi jual beli jagung. Dimana kemudian terjadi sengketa ketika proses pembayaran transaksi jual beli jagung yang mulai macet antara saksi Pelapor selaku penjual dengan Mei Wahyuni Pembeli jagung dan tidak pernah ada penitipan uang yang dilakukan oleh pembeli kepada pihak pemohon sejak terjadinya kegagalan pembayaran uang jagung dari pihak Pembeli.
2.    Bahwa perkara a quo cenderung mengarah pada Wanprestasi yang masuk pada ranah keperdataan yang dilakukan oleh Mei Wahyuni selaku pembeli jagung Pelapor. Wanprestasi dapat berupa: (i) tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan; (ii) melaksanakan yang diperjanjikan tapi tidak sebagaimana mestinya; (iii) melaksanakan apa yang diperjanjikan tapi terlambat; atau (iv) melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan. Pihak yang merasa dirugikan akibat adanya wanprestasi bisa menuntut pemenuhan perjanjian, pembatalan perjanjian atau meminta ganti kerugian pada pihak yang melakukan wanprestasi. Adapun dalam perikatan transaksi jual beli jagung Pemohon bertindak sebagai Perantara (makelaar) yang telah menunaikan kewajibannya, sedangkan kegagalan atau keterlambatan pembayaran murni terjadi karena pihak pembeli (Sdri. Mei Wahyuni) adalah pihak yang belum memenuhi prestasinya dalam pembayaran transaksi jual beli jagung. Sehingga dengan demikian harus dianggap bahwa unsur delik dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan tidak terpenuhi, selain karena objeknya merupakan hubungan hukum keperdataan, juga telah terjadi kesalahan dalam menentukan pihak (error in persona) yang dituduhkan kepada Pemohon Praperadilan yang tidak pernah berposisi sebagai pembeli dalam perikatan jual-beli tersebut.
3.    Bahwa berdasarkan pada fakta, Termohon praperadilan cenderung menutup- nutupi keberadaan perikatan jual- beli yang sesungguhnya dilakukan antara pihak penjual (Pelapor) dengan Sdri. Mei Wahyuni (Pembeli), dimana keduanya dipertemukan oleh klien kami selaku Pemohon Praperadilan selaku pihak yang dimintai bantuan oleh pihak penjual (Pelapor) sebagai pemilik objek jagung. adapun dalam pemeriksaan baik yang dilaksanakan oleh Penyidik Polsek Puncu maupun Polres Kediri, keberadaan pembeli yang dapat diklasifikasikan gagal bayar (wanprestasi) terkesan tidak dilakukan pendalaman, justru klien kami selaku perantara (makelaar) yang tidak terlibat secara langsung dalam perjanjian yang dibuat oleh Pelapor dengan Pembeli dikaburkan seolah- olah bertindak selaku Pembeli dalam perikatan transaksi jual- beli yang dilakukan oleh Penjual dengan pihak lain selaku Pembeli jagung. Berdasarkan uraian tersebut diatas, sudah semestinya Pemohon tidak dapat dipersangkakan dugaan tindak pidana Penggelapan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dikarenakan kurang cermatnya Termohon pada proses penyelidikan dalam konteks memilah perkara perdata dan pidana atas dasar tidak terpenuhinya prestasi yang tercipta dari hubungan hukum keperdataan (jual- beli) yang sah sehingga penerapan Pasal 372 KUHP dalam Penyidikan perkara a quo terkesan dipaksakan.
C.    PENETAPAN TERSANGKA, PENGGELEDAHAN RUMAH, DAN PENANGKAPAN TERHADAP PEMOHON PRAPERADILAN SEWENANG- WENANG DAN TIDAK BERDASARKAN HUKUM
1.    Indonesia adalah negara demokrasi yang menjunjung tinggi hukum dan Hak asasi manusia (HAM) sehingga azas hukum presumption of innocence atau azas praduga tak bersalah menjadi penjelasan atas pengakuan warga negara atas Hukum dan HAM. Bahwa berdasarkan Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM), dinyatakan bahwa “Tidak seorang pun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang piutang.” Sehingga tidaklah tepat jika Termohon dengan kewenangannya memaksakan perkara yang jelas merupakan domain dari hukum perdata untuk masuk ke ranah hukum pidana, mengingat sifat keberlakukan hubungan hukum keduanya merupakan domain hukum Perdata, atau lebih tepatnya wanprestasi. Secara tidak langsung dengan tindakan Termohon menetapkan Pemohon sebagai tersangka atas perkara dalam hubungan keperdataan, selain melanggar azas hukum presumption of innocence yang harus dijunjung tinggi aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, tindakan Penyidik juga bertentangan pula dengan azas Kepastian Hukum mengingat prosedur pelimpahan yang tidak sesuai dengan tata cara pelimpahan perkara.
2.    Bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 2 KUHAP, Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Berdasarkan definisi tersebut, penyidikan merupakan rangkaian yang berurutan dengan tata urutan tindakan:
a.       tindakan pengumpulan bukti
b.      membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi
c.       menemukan tersangkanya
Mendasarkan pada ketentuan tersebut, penetapan merupakan tindakan terakhir yang dilakukan dalam proses penyidikan setelah 2 tindakan lain telah terlaksana. Apabila dikaitkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi nomor 21/PUU-XII/2014, dalam putusannya, Majelis Mahkamah Konstitusi menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP. Berdasarkan Putusan tersebut, Pasal 77 huruf a KUHAP dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.
3.    Bahwa berdasarkan ketentuan dalam Pasal 33 ayat (1) KUHAP, Penyidik dapat melakukan penggeledahan dengan surat izin Ketua Pengadilan Negeri setempat. Sehingha sebelum melakukan penggeledahan, penyidik lebih dahulu meminta surat izin Ketua Pengadilan Negeri dengan menjelaskan segala sesuatu yang berhubungan dengan kepentingan penggeledahan bagi keperluan penyelidikan atau penyidikan. Dalam penggeledahan rumah yang dilaksanakan oleh Petugas Kepolisian Polres Kediri, berdasarkan dokumen yang ditunjukkan, tidak memuat adanya izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat (Pengadilan Negeri Kediri), dengan mendalilkan bahwa penggeledahan rumah yang dilakukan adalah dalam rangka keadaan yang sangat perlu dan ”mendesak”, dimana harus memenuhi kondisi dilaksanakan di tempat yang akan digeledah diduga keras terdapat tersangka atau terdakwa yang patut dikhawatirkan segera melarikan diri atau mengulangi tindak pidana atau benda yang dapat disita dikhawatirkan segera dimusnahkan atau dipindahkan. Keadaan tersebut tidak berdasar mengingat Pemohon telah kooperatif, tidak melarikan diri, dan memusnahkan bukti selamat proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik Polsek Puncu maupun Porles Kediri sejak tahun 2018.
4.    Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 34 ayat (2) KUHAP, dalam hal penyidik melakukan penggeledahan seperti dimaksud dalam ayat (1) penyidik tidak diperkenankan memeriksa atau menyita surat, buku dan tulisan lain yang tidak merupakan benda yang berhubungan dengan tindak pidana yang bersangkutan atau yang diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya. Dengan cukup lamanya telah berlangsung proses Penyidikan yang dialami Pemohon Praperadilan, dan mengingat alasan-alasan yang telah dikemukakan Penyidik Polres Kediri, penggeledahan dan penyitaan tanpa izin Ketua Pengadilan Negeri Kediri haruslah dianggap tidak prosedural, mengingat upaya paksa berupa Pneggeledahan rumah dan penyitaan yang dilaksanakan tidak dalam kondisi dimana terdapat kondisi mendesak dan surat izin Ketua Pengadilan Negeri, dalam hal ini Ketua Pengadilan Negeri Kediri tidak mungkin diperoleh dengan cara yang layak dan dalam waktu yang singkat.
5.    Proses penyidikan yang dilakukan oleh Termohon berdasarkan Surat Pemberitahuan dimulainya penyidikan Nomor B/138/X/Res.1.11./2019 tanggal 18 Oktober 2019 dan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sprin Sidik/149/X/Res.1.11./2019 tanggal 18 Oktober 2019 yang dianggap merupakan kelanjutan dari Laporan Polisi Nomor: K/LP/8/III/Res.1.11/2018/Jatim/Res Kediri/ Sek Puncu, tertanggal 27 Maret 2018. Perlu kami jelaskan, dalam proses penyidikan yang dilaksanakan, baik Penyidik pada Polsek Puncu, Kab. Kediri maupun Polres Kediri cenderung memaksakan tindakan penyidikan pada perkara a quo, dimana sebelum Polres Kediri melakukan Penyelidikan dan kemudian Penyidikan berdasarkan Sprin Sidik Nomor: Sprin Sidik/149/X/Res.1.11./2019 tanggal 18 Oktober 2019, dalam perkara yang dihadapi klien kami, Polsek Puncu telah melakukan proses pro justitia berdasar Surat Panggilan terhadap Pemohon dengan Nomor: Spg/13/VI/2018/Polsek tertanggal 4 Juni 2018 dan Surat Panggilan kedua terhadap Pemohon dengan Nomor Spg/20/IX/Res.1.11/2018/Polsek tertanggal 6 September 2018 ; dan dengan mendasarkan proses tersebut pada dugaan tindak pidana Penipuan dan atau Penggelapan berdasarkan Pasal 378 dan 372 KUHP dengan tanpa adanya prosedur administrasi penyidikan yang benar, dilimpahkan kepada Termohon dan dimulai lagi Penyidikan dengan perkara dugaan tindak pidana penggelapan yang dituduhkan tanpa dasar yang jelas kepada Klien kami selaku Pemohon berdasarkan Pasal 372 KUHP.
6.    Dengan adanya pelimpahan perkara dari Polsek Puncu kepada Termohon yang oleh Termohon telah dilakukan perubahan pasal yang dipersangkakan kepada Pemohon tanpa adanya penghentian penyidikan dari Polsek Puncu, maka sudah seharusnya, dengan perubahan persangkaan dalam perkara yang dilakukan oleh Termohon dengan  instansi Kepolisian Sektor Puncu haruslah dianggap sebagai perkara baru bukan sebagai kelanjutan dari proses penyidikan sebelumnya.
7.    Bahwa sudah umum bilamana kepastian menjadi bagian dari suatu hukum, hal ini lebih diutamakan untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan jati diri serta maknanya, karena tidak lagi dapat digunakan sebagai pedoman perilaku setiap warga negara. Kepastian sendiri hakikatnya merupakan tujuan utama dari hukum.  Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.
8.    Bahwa dalam hukum administrasi negara Badan/Pejabat Tata Usaha Negara dilarang melakukan Penyalahgunaan Wewenang. Yang dimaksud dengan Penyalahgunaan wewenang meliputi melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang dan bertindak sewenang-wenang. Dalam perkara ini, Termohon telah mencampuradukkan kewenangan dimana Termohon praperadilan telah “memaksakan” keberlakuan hukum pidana dalam konteks hubungan keperdataan, dengan tidak mempertimbangkan peraturan perundang-undangan yang berdasarkan azas lex specialis berlaku terhadap kejadian yang secara spesifik terjadi dalam hubungan hukum antara Pemohon Praperadilan dan Pelapor menunjukkan juga melanggar azas hukum pidana sebagai obat terakhir (ultimum remedium). Menurut Sjachran Basah “abus de droit” (tindakan sewenang-wenang), yaitu perbuatan pejabat yang tidak sesuai dengan tujuan di luar lingkungan ketentuan perundang-undangan. Kami menilai adanya penyalahgunaan wewenang yang dilakukan Termohon berupa pelaksanaan upaya paksa berupa penangkapan, penggeledahan rumah tanpa izin Ketua Pengadilan Negeri Kediri, pemeriksaan saksi anak yang bertentangan dengan Hukum (melanggar Pasal 26 ayat (2) UU No. 11 Tahun 2011 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak), mengarahkan dan memaksa secara verbal saksi- saksi sehingga bertentangan dengan  Pasal 117 (1) KUHAP, hingga berupa tindakan Termohon dengan menetapkan Pemohon praperadilan sebagai Tersangka dalam hubungan keperdataan sudah seharusnya dapat dimaknai sebagai tindakan sewenang- wenang (police misconduct) yang dilakukan oleh Penyidik Polres Kediri.
III. PETITUM
Berdasar pada argumen dan fakta-fakta yuridis diatas, Pemohon mohon kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kabupaten Kediri yang memeriksa dan mengadili perkara a quo berkenan memutus perkara ini sebagai berikut :
1.    Menyatakan diterima permohonan Pemohon Praperadilan untuk seluruhnya;
2.    Menyatakan tindakan Termohon menetapkan Pemohon sebagai tersangka dengan dugaan Penggelapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana oleh Satreskrim POLRES Kediri adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum dan oleh karenanya penetapan tersangka a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
3.    Menyatakan Penangkapan dan Penahanan Tersangka atas nama Kodir Bin H. Sutrisno (Pemohon) berdasarkan Surat Perintah Penangkapan Nomor : Sprint.Kap/171/XII/RES.1.11/2019 tanggal 5 Desember 2019, dan Surat Perintah Penahanan Nomor : SPP/255/XII/RES.1.11/2019 tanggal 5 Desember 2019 adalah tidak sah dan tidak berdasar atas hukum serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
4.    Menyatakan tidak tidak sah tindakan Termohon dalam melaksanakan upaya paksa berupa Penggeledahan dan Penyitaan;
5.    Memerintahkan kepada Termohon untuk menghentikan penyidikan terhadap perintah penyidikan kepada Pemohon;
6.    Memerintahkan kepada Termohon untuk segera mengeluarkan Kodir Bin H. Sutrisno (Pemohon) dari rumah tahanan;
7.    Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh Termohon yang berkenaan dengan penetapan Tersangka atas diri Pemohon oleh Termohon;
8.    Memulihkan hak- hak Pemohon dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya;
9.    Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara menurut ketentuan hukum yang berlaku.
PEMOHON sepenuhnya memohon kebijaksanaan Yang Terhormat Hakim Pengadilan Negeri Kabupaten Kediri yang memeriksa, mengadili dan memberikan putusan terhadap Perkara a quo  dengan tetap berpegang pada prinsip keadilan, kebenaran dan rasa kemanusiaan.
Atau
Apabila Hakim berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

 

Pihak Dipublikasikan Ya