Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI KAB. KEDIRI
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
3/Pid.Pra/2018/PN Gpr Suncoko, S.H., MM Kapolri Cq KapoldaJawa Timur Cq Kepala Kepolisian Resort Kediri Cq Kasatreskrim Polres Kediri Minutasi
Tanggal Pendaftaran Senin, 26 Mar. 2018
Klasifikasi Perkara Ganti kerugian dan rehabilitasi
Nomor Perkara 3/Pid.Pra/2018/PN Gpr
Tanggal Surat Senin, 26 Mar. 2018
Nomor Surat -
Pemohon
NoNama
1Suncoko, S.H., MM
Termohon
NoNama
1Kapolri Cq KapoldaJawa Timur Cq Kepala Kepolisian Resort Kediri Cq Kasatreskrim Polres Kediri
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan

A. Duduk Perkara
1. Bahwa Pemohon mempunyai 2 (dua) bidang tanah SHM No.235/Desa Ringinrejo dan SHM No.246/Desa Ringinrejo, yang mana KEDUANYA ADALAH MILIK PRIBADI PEMOHON. Kemudian karena lokasi tanah tersebut terhalang (terhimpit) oleh tanah milik adiknya, lalu ibu Pemohon (Lianawati) menyuruh untuk memberikan tanah tersebut kepada Eviyanti (adik Pemohon), Susiyanti (adik Pemohon) dan Agus Budiono (keponakan Pemohon) dengan cara hibah.
2. Bahwa pada bulan Oktober 2007 kedua sertifikat SHM No. 235 dan SHM No. 246 oleh Pemohon diserahkan kepada ibu Linawati, kemudian semua proses penghibahan diurus oleh ibu Lianwati.
3. Bahwa pada tanggal 22 Desember 2007 Pemohon diberitahu oleh ibu Lianawati mengenai akta hibah atas penghibahan 2 (dua) bidang tanah SHM No. 235 dan SHM No. 246 siap untuk ditanda tangani. Kemudian pada saat itu Pemohon mendatangi kantor PPAT Achmadin, SH untuk melakukan tanda tangan Akta Hibah No.556/HB/ Ringinrejo/XII/2007 dan No.555/HB/ Ringinrejo/Xll/2007 sebagai pemberi hibah. Saat itu pemohon melakukan tanda tangan pada kolom sebagai pemberi hibah di hadapan staf Komariyah dengan sepengetahuan PPAT Achmadin, SH., sedangkan pada saat itu Termohon melihat kolom penerima hibah saat itu masih kosong. Pada saat penandatanganan kedua akta hibah tersebut Pemohon datang bersama ibu Lianawati dan seorang teman Pemohon. Setelah penandatanganan tersebut, Pemohon bersama-sama meninggalkan tempat kantor PPAT Achmadin, SH. dan proses selanjutnya atas penghibahan tersebut hingga balik nama sertifikat tidak diketahui oleh Pemohon.
4. Bahwa sejak Pemohon menanda tangani kedua Akta Hibah No.556/HB/ Ringinrejo/XII/2007 dan No.555/HB/ Ringinrejo/XII/2007, kedua bidang tanah hasil penghibahan tersebut secara fisik DIKUASAI OLEH AGUS BUDIONO dan SEJAK
Halaman 2 dari 12 Permohonan Praperadilan
TAHUN 2008 SERTIFIKAT DIKUASAI OLEH EVIYANTI. Sejak penguasaan tersebut hingga tahun 2015 tidak ada permasalahan atas penghibahan tersebut.
5. Bahwa kemudian munculah Laporan Polisi Nomor: K/LP/54/V/2015/Jatim/Res. Kediri tanggal 13 Mei 2015 oleh Eviyanti atas dugaan tindak pidana menyuruh menempatkan keterangan palsu kedalam suatu akta otentik atau pemalsuan tanda tangan sebagaimana dalam akta hibah nomor: 555/HB/Ringireio/XIl/2007 tanggal 22 Desember 2007 dan akta hibah nomor: 556 HB/ Ringireio/XII/2007 tanggal 22 Desember 2007 sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 266 KUHP Sub pasal 263 KUHP.
6. Bahwa laporan tersebut sangat mengejutkan Pemohon karena sebagai PEMBERI TANAH SECARA CUMA-CUMA justru dituduh oleh Eviyanti (si penerima hibah) bahwa Pemohon telah melakukan tindak pidana pemalsuan tanda tanda tangan pada proses penghibahan tersebut.
7. Bahwa kemudian Pemohon melakukan konfirmasi tersebut kepada ibu Lianawati, ternyata saat proses penghibahan memang Eviyanti tidak menanda tangani akta hibah tersebut, namun yang melakukan tanda tangan adalah ibu Komariyah (staf dari Achmadin). Sebelum melakukan tanda tangan tersebut ibu Lianawati mengatakan kepada Achmadin, SH. bahwa Eviyanti bertempat tinggal di Jakarta sedangkan Susiyanti bertempat tinggal di Lombok, dan apakah keduanya harus datang menanda tangani akta hibah tersebut. Kemudian Achmadin menyatakan bahwa Eviyanti dan Susiyanti tidak perlu datang, yang penting data-datanya saja dikirimkan, karena sebagai penerima hibah tidak begitu penting tanda tangannya.
8. Bahwa secara hukum kedua sertifikat tersebut sudah menjadi milik Eviyanti, Susiyanti dan Agus Budiono, yang mana secara fisik dikuasai oleh Agus Budiono. Namun saya sebagai pemberi hibah (pemberi tanah) malah dilaporkan oleh Eviyanti ke Polres Kediri dengan tuduhan memalsukan tanda tangannya di kedua akta hibah tersebut sebagai penerima hibah. Bahwa penghibahan tersebut SECARA NYATA sangat menguntungkan Eviyanti (pelapor), yang mana TIDAK ADA KERUGIAN TERKAIT LANGSUNG ATAS PENGHIBAHAN TERSEBUT.
9. Bahwa Pemohon secara tegas menyatakan tidak melakukan pemalsuan tanda tangan yang dituduhkan oleh Eviyanti dan secara LOGIKA HUKUM YANG SEHAT seharusnya kasus tersebut bukanlah suatu kasus pidana, sehingga penetapan tersangka Pemohon yang dilakukan oleh Termohon sangatlah tidak masuk akal dan cacat hukum.
B. Proses Pemeriksaan Perkara di Kepolisian
1. Bahwa perkara dalam Laporan Polisi Nomor: K/LP/54/V/2015/Jatim/Res.Kediri diawali oleh surat pengaduan saudara Eko Budiono tanggal 11 Maret 2015. Kemudian disusul dengan Laporan Polisi Nomor: K/LP/54/V/2015/Jatim/Res. Kediri tanggal 13 Mei 2015 oleh Eviyanti atas dugaan tindak pidana menyuruh menempatkan keterangan palsu kedalam suatu akta otentik atau pemalsuan tanda tangan sebagaimana dalam akta hibah nomor: 555/HB/Ringireio/XIl/2007 tanggal 22 Desember 2007 dan akta hibah nomor: 556 HB/ Ringireio/XII/2007 tanggal 22 Desember 2007 sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 266 KUHP Sub pasal 263 KUHP.
2. Bahwa selama proses penyelidikan dan penyidikan adanya suatu kejanggalan yang sangat terlihat yaitu penyelidik dan penyidik tidak mau menyebutkan unsur kerugian yang terkait langsung dengan perbuatan yang diduga sebagai tindak pidana yang dilaporkan tersebut, bahkan mencoba menghubung-hubungkan dengan masalah warisan yang sama sekali tidak terkait dengan perkara yang sedang dilaporkan.
3. Bahwa pada tanggal 9 Agustus 2016, Pemohon menanyakan perkembangan penyidikan kepada Kanit IPTU Priyo Eko H, SH, yang mana beliau menyatakan bahwa proses penyidikan telah selesai dengan ditetapkannya Notaris/PPAT Achmadin. SH. sebagai
Halaman 3 dari 12 Permohonan Praperadilan
tersangka, yaitu dengan dirubahnya pengenaan pasal menjadi 264 ayat (1) K.UHP. Kemudian pada tanggal 11 Agustus 2016 Pemohon dimintai keterangan tambahan melalui Surat Panggilan No: Sp. Pgl/597/VIII/2016/Satsreskrim untuk keperluan menambah keterangan dalam BAP atas tersangka Notaris/PPAT Achmadin, SH., dengan pasal persangkaan yang berubah menjadi pasal 264 KUHP tersebut.
4. Bahwa bulan November 2016, Pemohon menanyakan beberapa kali mengenai perkembangan atas penetapan tersangka Notaris/PPAT Achmadin, SH tersebut dan dikatakan bahwa berkas perkara sudah dikirim ke Kejaksaan tetapi beberapa kali dikembalikan atau di P-19.
5. Bahwa pada tanggal 13 Maret 2017, Brigadir Roy Astika memberikan surat Undangan Gelar Perkara No: B/576/III/2017/Satreskrim untuk menghadiri gelar di Polda Jatim pada tanggal 15 Maret 2017. Pada saat itu Pemohon menanyakan alasan dilakukanya gelar tersebut, yang mana sebelumnya penyidikan sudah dinyatakan selesai, namun jawaban Brigadir Roy Astika sangat mengejutkan yaitu gelar di Polda tersebut dilakukan karena adanya tekanan hebat dari pihak Eviyanti dan kuasanya terhadap dirinya,
6. Bahwa tanggal 15 Maret 2017 diadakan gelar di Polda Jatim, yang dihadiri oleh Kasat Reskrim AKP Muhammad Aldy Sulaiman, S.I.K. dan Brigadir Roy Astika (penyidik pembantu). Beberapa hari setelah gelar, Pemohon pernah menanyakan hasil dari gelar perkara tersebut, namun menurut Brigadir Roy Astika hasil gelar bersifat rahasia dan tidak boleh disampaikan kepada para pihak.
7. Bahwa setelah gelar perkara tersebut berlangsung beberapa bulan kemudian Brigadir Roy Astika meminta keterangan tambahan dan bukti tambahan tanpa menggunakan surat resmi di tempat kediaman Pemohon.
8. Bahwa pada tanggal 10 Agustus 2017 Pemohon kembali menanyakan mengenai perkembangan penyidikan, kemudian Brigadir Roy Astika mengatakan bahwa sudah dalam pengurusan SP3 yang mana prosesnya sudah 90% final dan hanya menunggu pengesahannya saia.
9. Bahwa pada tanggal 1 September 2017 Brigadir Roy Astika menghubungi Pemohon yang pada intinya menyatakan bahwa proses pengurusan SP3 tidak jadi dilaksanakan karena adanya “perintah” agar Pemohon untuk ditingkatkan menjadi tersangka.
10. Bahwa benar ternyata sesuai dengan pemberitahuan tersebut, pada tanggal 14 September 2017 kemudian dikeluarkan surat pemberitahuan No. B/211 /IX/2017/ Satreskrim dan surat pemanggilan pemeriksaan No. Sp. Pgl/261/IX/2017/Satreskrim yang menyatakan Suncoko (Pemohon) sebagai tersangka.
11. Bahwa berdasarkan hal tersebut diatas sangat terlihat adanya dugaan penyimpangan dan intervensi dalam pemeriksaan perkara ini. Selain itu, secara LOGIKA HUKUM YANG SEHAT sangat tidak masuk akal Pemohon sebagai pemberi tanah secara cuma-cuma yang SANGAT MENGUNTUNGKAN PELAPOR dianggap melakukan perbuatan pidana atas penghibahan tersebut oleh penyidik Satreskrim Polres Kediri, sedangkan tanah pemberiannya secara nyata telah diterima dan dikuasai oleh Eviyanti dkk.
12. Bahwa Pemohon menilai perkara pidana ini adalah suatu bentuk KRIMINALISASI dan KESEWENANG-WENANGAN Termohon yang menggunakan kewenangan dan kekuasaanya untuk merampas kemerdekaan Termohon, yang mana Termohon tidak menggunakan logika hukum yang benar dan telah melakukan prosedur yang salah dalam menetapkan status tersangka kepada Pemohon. Bahwa Termohon melanggar ketentuan pasal 7 ayat (3) KUHAP seharusnya penyidik dalam menggunakan wewenangnya "Dalam melakukan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dan ayat 2, penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku ”.
Halaman 4 dari 12 Permohonan Praperadilan
III. TENTANG HUKUMNYA
1. Pemberian Hibah Pemohon Yang Memberi Keuntungan/Kenikmatan Kepada Pelapor
Bukanlah Suatu Peristiwa Yang Patut Diduga Sebagai Tindak Pidana.
1) Bahwa Hibah menurut kutipan pasal 1666 KUHPerdata: Hibah adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah, diwaktu hidupnya, densan cuman-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu.
2) Bahwa dalam suatu pengibahan sebagai pemilik hak atas tanah adalah Penghibah, sedangkan Para Penerima Hibah tidak memberikan sesuatu apapun kepada Penghibah karena sifatnya adalah pemberian sepihak secara cuma-cuma atau gratis. Dengan demikian jika terjadi pemalsuan, logika umumnya adalah yang dipalsukan si Pemberi Hibah sebagai pemilik tanah bukan Penerima Hibah. JIKA PEMBERI HIBAH MEMALSUKAN TANDA TANGAN PENERIMA HIBAH, BAGAIMANA LOGIKA BERPIKIRNYA? Apakah orang yang memberi tanah secara cuma-cuma akan memaksakan kehendaknya hingga harus memalsukan tanda tangan si penerima hibah “dengan resiko dihukum" hanya karena ingin memberikan tanahnya secara cuma-cuma?
3) Bahwa secara hukum tanah tersebut saat ini milik Eviyanti dkk. dan faktanya dikuasai oleh mereka. Sangatlah aneh jika tanah yang diberikan diterima dan menjadi hak milik para penerima hibah tetapi proses penghibahannya dipermasalahkan, bahkan pemberi hibah dituduh memalsukan tanda tangan mereka pada akta hibah tersebut. BAGAIMANA LOGIKA AKAL SEHAT TERMOHON YANG MENYATAKAN PERISTIWA PENGHIBAHAN TERSEBUT SEBAGAI SUATU TINDAK PIDANA ?
4) Bahwa terkait dengan peristiwa atau perbuatan hukum berupa pemberian hibah tersebut tidak menyebabkan kerugian sama sekali kepada para penerima hibah, bahkan justru mereka secara fakta diuntungkan atas pemberian hibah tersebut. BAGAIMANA LOGIKANYA PENERIMA HIBAH JUSTRU MELAPORKAN PEMBERI HIBAH ATAS HIBAH YANG DIBERIKANNYA? Apakah Termohon sebagai ahli dalam menyelidiki suatu peristiwa pidana tidak merasa janggal atas pelaporan ini?
5) Bahwa Termohon sebagai penyelidik dan penyidik telah menerima mentah-mentah informasi yang diberikan oleh Eviyanti dkk. yang memposisikan diri mereka sebagai korban. Kenapa Termohon justru tidak pernah berpikir bahwa Pemohon lah sebenarnya yang merupakan korban kriminalisasi, yang mana sangat jelas ada motif atas pelaporan perkara pidana karena adanya kekalahan perkara lain (perdata) yang dialami oleh Eviyanti dkk., yang mana bukti perkara sudah diberikan oleh Pemohon kepada Termohon.
6) Bahwa Termohon sebagai penyelidik tidak memahami pengertian tindak pidana dalam penyelidikan dan melanggar pasal 1 ayat 5 KUHAP yang menyatakan “Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini ”, Menurut Moeljatno dalam bukunya Asas-asas Hukum Pidana menyatakan “Pada hakikatnya, setiap perbuatan pidana harus terdiri dari unsur-unsur lahiriah (fakta) oleh perbuatan, mengandung kelakuan dan akibat yang ditimbulkan karenanya. ” Kemudian beliau menyatakan “yang merupakan unsur atau elemen perbuatan pidana adalah :
a. Kelakuan dan akibat (= perbuatan)
b. Hak ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan.
c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana.
d. Unsur melawan hukum yang objektif.
e. Unsur melawan hukum yang subjektif. ”
Halaman 5 dari 12 Permohonan Praperadilan
Berdasarkan hal tersebut, seharusnya Termohon sebagai penyelidik dalam menentukan suatu peristiwa atau perbuatan sebagai suatu tindak pidana seharusnya merumuskan secara lengkap apakah semuanya sudah terpenuhi semua unsur-unsur yang melekat pada peristiwa atau perbuatan tersebut. SECARA LOGIKA HUKUM YANG SEHAT bahwa UNSUR KERUGIAN terkait langsung dengan peristiwa atau perbuatan dalam perkara ini jelas-jelas tidak terpenuhi secara nyata, bahwa peristiwa ini SECARA NYATA TELAH MENGUNTUNGKAN ATAU MEMBERI KENIKMATAN KEPADA EV1YANTI (PELAPOR).
7) Bahwa Pemohon menilai perkara pidana ini adalah suatu bentuk KRIMINALISASI dan KESEWENANG-WENANGAN Termohon yang menggunakan kewenangan dan kekuasaanya untuk merampas kemerdekaan Termohon, yang mana Termohon tidak menggunakan logika dan aturan sesuai hukum yang berlaku dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan hingga menetapkan status tersangka kepada Pemohon. Bahwa apa yang dilakukan oleh Termohon dalam menggunakan wewenang tidak sesuai dengan ketentuan pasal 7 ayat (3) KUHAP yang menyatakan “Dalam melakukan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dan ayat 2, penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku”, sehingga atas penetapan tersangka Pemohon mohon dinyatakan tidak sah.
2. Dalam Pemeriksaan Perkara Ada 2 (Dua) Akta Hibah Yang Dilaporkan Tetapi
Penetapan Tersangka Hanya Pada Satu Akta Hibah Saja.
1) Bahwa dalam surat panggilan polisi No. Surat Panggilan No: Sp. Pgl/597/VIIl/2016/ Satsreskrim tanggal 21 Desember 2015 atas dugaan tindak pidana menyuruh menempatkan keterangan palsu kedalam suatu akta otentik atau pemalsuan tanda tangan sebagaimana dalam akta hibah nomor: 555/HB/Ringireio/XII/2007 tanggal 22 Desember 2007 dan akta hibah nomor: 556 HB/ Ringireio/XII/2007 tanggal 22 Desember 2007 sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 266 KUHP Sub pasal 263 KUHP.
2) Bahwa faktanya kedua akta hibah tersebut diurus oleh pihak yang sama, waktu yang sama dan PPAT yang sama pula.
3) Bahwa selama dalam proses pemeriksaan, Pemohon dimintai keterangan Termohon atas 2 (dua) akta hibah tersebut, Pemohon tidak pernah diminta keterangan secara terpisah atas pemeriksaan kedua akta hibah tersebut.
4) Bahwa sangat jelas dalam laporan polisi tersebut ada 2 (dua) akta hibah namun pada faktanya Pemohon hanya dijadikan tersangka atas satu akta hibah saja yaitu Akta Hibah 555/HB/Ringireio/XII/2007 tanggal 22 Desember 2007 tanpa alasan yang jelas.
5) Bahwa atas hal tersebut sangat jelas proses penetapan tersangka tersebut cacat prosedur, karena obyek yang dilaporkan ada 2 (dua), yang mana jelas disitu adanya penghubung kata “dan” bukan “atau”, namun hanya 1 (satu) saja yang dituduhkan kepada Pemohon sebagai tersangka. Apabila memang akta hibah nomor: 556 HB/ Ringireio/XII/2007 tanggal 22 Desember 2007 tidak memenuhi unsur pidana dalam pasal 266 KUHP Sub pasal 263 KUHP, maka sebagai satu kesatuan harusnya Akta Hibah 555/HB/Ringireio/ XI1/2007 tanggal 22 Desember 2007 juga tidak memenuhi unsur pidana pula.
3. Adanya Dugaan Intervensi Dalam Penyidikan Dan Dalam Menetapkan Pemohon
Sebagai Tersangka Adalah Bentuk Penyalahgunaan Kekuasaan Atau Abuse of Power.
1) Bahwa perkara pidana yang dilaporkan oleh Eviyanti pada laporan nomor: K/LP/54/V/ 2015/Jatim/Res. Kediri, tanggal 13 Mei 2015 telah menempatkan Pemohon (Suncoko) sebagai terlapor. Kemudian pada hari yang sama telah dikeluarkan Surat Perintah Penyidikan nomor: Sp. Dik/134/V/2015/Satreskrim, tanggal 13 Mei 2015.
Halaman 6 dari 12 Permohonan Praperadilan
2) Bahwa setelah dikeluarkan sprindik tersebut adanya serangkaian penyidikan terhadap Termohon sebagai berikut:
a. Surat Panggilan Ke I Nomor: Sp. Pgl/405/VI/2015/Satreskrim tanggal 26 Juni 2015, yang meminta keterangan Pemohon selaku saksi dalam dugaan tindak pidana yang diatur dan diancam dalam pasal 266 KUHP sub pasal 263 KUHP.
b. Surat Panggilan Ke II Nomor: Sp. Pgl/943/X 11/2015/Satreskrim tanggal 21 Desember 2015, yang meminta keterangan Pemohon selaku saksi dalam dugaan tindak pidana yang diatur dan diancam dalam pasal 266 KUHP sub pasal 263 KUHP.
c. Surat Panggilan Nomor: Sp. Pgl/597/VIII/2016/Satreskrim tanggal 05 Agustus 2016, untuk pemeriksaan tambahan saksi dalam dugaan tindak pidana yang diatur dan diancam pidana dalam pasal 264 ayat (1) KUHP.
d. Undangan gelar perkara Nomor: B/576/III/2017/Satreskrim tanggal 13 Maret 2017, untuk melaksanakan gelar perkara di Polda Jatim atas laporan nomor: K/LP/54/V/2015/Jatim/Res. Kediri, tanggal 13 Mei 2015 tentang dugaan tindak pidana yang diatur dan diancam dalam pasal 266 KUHP dan atau pasal 263 KUHP.
3) Bahwa dalam pemeriksaan perkara tersebut diatas terlihat adanya suatu kejanggalan yang terlihat, yaitu :
Pada poin 2 (c) Surat Panggilan Nomor: Sp. Pgl/597/VIII/2016/Satreskrim tanggal 05 Agustus 2016. Sebelum pemohon dimintai keterangan tambahan, dijelaskan oleh Kanit IPTU Priyo Eko H, SH, yang mana beliau menyatakan bahwa proses penyidikan telah selesai dengan ditetapkannya Notaris/PPAT Achmadin, SH. sebagai tersangka. Oleh sebab itu acaman pidananya berubah menjadi pasal 264 ayat (1) KUHP, yang mana menurut keterangan beliau penetapan tersangka ini sudah dimintakan pertimbangan dari ahli hukum pidana dari Universitas Brawijaya yaitu bapak Dr. Prija Djatmika SH., MS.
Bahwa Pemohon juga beberapa kali menanyakan perkembangan perkara, yang kemudian oleh Termohon disampaikan bahwa berkas sudah dilimpahkan ke Jaksa Penuntut umum tetapi beberapa kali dikembalikan lagi (P 19).
Pada poin 2 (d) Undangan gelar perkara Nomor: B/576/III/2017/Satreskrim tanggal 13 Maret 2017, untuk melaksanakan gelar perkara di Polda Jatim. Saat Brigadir Roy Astika menyerahkan undangan ini, Pemohon (Suncoko) menanyakan alasan dilakukanya gelar di Polda Jatim tersebut, yang mana jawaban Brigadir Roy Astika sangat mengejutkan yaitu beliau yang meminta gelar di Polda karena ada tekanan hebat dari pihak Eviyanti dan kuasanya. Atas jawaban Termohon tersebut membuat Pemohon mulai berpikir atas adanya kejanggalan dalam penanganan dalam perkara ini.
4) Bahwa kejanggalan tersebut terlihat lebih jelas setelah adanya pembicaraan antara Pemohon dengan Brigadir Roy Astika sebagai penyidik pembantu yang menangani perkara pidana Laporan Polisi Nomor : K/LP/54/V/2015/Jatim/Res.Kediri, yang mana inti dari isi pembicaraan tersebut adalah :
a. Pembicaraan pertama.
Bahwa Brigadir Roy Astika menyatakan bahwa perkara sudah melalui proses SP3, yang mana pengurusannya sudah 90% sudah final.
b. Pembicaraan kedua.
Bahwa proses SP3 yang dikatakan oleh Brigadir Roy Astika batal untuk dilaksanakan karena adanya “perintah” untuk meningkatkan status Pemohon menjadi tersangka.
Halaman 7 dari 12 Permohonan Praperadilan
5) Bahwa atas pembicaraan tersebut dapat disimpulkan sementara:
a. Patut diduga kuat adanya intervensi untuk memerintahkan meningkatkan status Pemohon untuk dijadikan tersangka, yang mana dalam hal ini patut diduga kuat merupakan penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power.
b. Termohon juga sepertinya mengalami suatu tekanan karena secara struktural kepolisian bahwa kedudukan Termohon jauh dibawah dengan pihak yang diduga melakukan intervensi.
c. Termohon terlihat atau mengalami ketakutan dan tekanan oleh pihak Pelapor seolah- olah Pelapor adalah orang yang kuat yang mempunyai backup oknum Kepolisian yang mempunyai kedudukan/pangkat yang tinggi.
6) Bahwa berdasarkan apakah yang telah diuraikan diatas maka dapat disimpulkan:
a. Termohon telah melanggar pasal 13 huruf (b) Perkap No. 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia menyatakan: “Setiap Anggota Polri dilarang: (b) mengambil keputusan yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan karena pengaruh keluarga, sesama anggota Polri, atau pihak ketiga. ”
b. Dalam Pasal 14 huruf (c) jo. (f) menyatakan: “Setiap Anggota Polri dalam melaksanakan tugas penegakan hukum sebagai penyelidik, penyidik pembantu, dan penyidik dilarang: (c) merekayasa dan memanupulasi perkara yang menjadi tanggung jawabnya dalam rangka penegakkan hukum; (f) melakukan penyidikan yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan karena adanya campur tangan pihak lain. ”
c. Dalam Pasal 6 huruf (j) jo. (k) PP. No. 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dinyatakan bahwa dalam pelaksanaan tugas, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dilarang berpihak dalam perkara pidana yang sedang ditangani dan memanipulasi perkara. Berdasarkan ketentuan ini, maka anggota Polri harus profesional dan transparan dalam menangani suatu perkara pidana dan tidak diperbolehkan melakukan setiap perbuatan yang dapat mengurangi kehormatan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
d. Setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia terikat pada Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 34 (1) Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berbunyi: “Sikap dan perilaku pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia terikat pada kode etik profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia
8) Bahwa atas pelanggaran tersebut, berarti pula Termohon sebagai penyidik telah melanggar pasal 7 ayat (3) KUHAP yang menyatakan “Dalam menjalankan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dan ayat 2, penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku”. Terhadap tindakan Termohon yang menetapkan Pemohon sebagai Tersangka karena intervensi tersebut jelas-jelas melanggar hukum dan tidak sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku, sehingga dengan demikian penetapan tersangka terhadap Pemohon dapat dikategorikan cacat hukum dan selayaknya dinyatakan tidak sah secara hukum.
4. Bahwa Bukti-Bukti Yang Dimiliki Penyidik Tidak Pernah Dikonfrontasi Kepada
Pemohon Sehingga Terjadinya Unfair Prejudice atau Persangkaan Yang Tidak Wajar.
1) Bahwa berdasarkan pendapat Guru Besar Hukum Pidana Indonesia, Eddy OS Hiariej, dalam bukunya yang berjudul Teori dan Hukum Pembuktian, untuk menetapkan seseorang sebagai TERSANGKA, Termohon haruslah melakukannya berdasarkan “bukti permulaan”. Eddy OS Hiariej kemudian menjelaskan bahwa alat bukti yang
Halaman 8 dari 12 Permohonan Praperadilan
dimaksudkan di sini adalah sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 184 KUHAP, apakah itu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, keterangan terdakwa ataukah petunjuk. Eddy OS Hiariej berpendapat bahwa kata-kata ‘bukti permulaan' dalam Pasal 1 butir 14 KUHAP, tidak hanya sebatas alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 KUHAP, namun juga dapat meliputi barang bukti yang dalam konteks hukum pembuktian universal dikenal dengan istilah physical evidence atau real evidence. Selanjutnya untuk menakar bukti permulaan, tidaklah dapat terlepas dari pasal yang akan disangkakan kepada tersangka. Pada hakikatnya pasal yang akan dijeratkan berisi rumusan delik yang dalam konteks hukum acara pidana berfungsi sebagai unjuk bukti. Artinya, pembuktian adanya tindak pidana tersebut haruslah berpatokan kepada elemen- elemen tindak pidana yang ada dalam suatu pasal. Dan dalam rangka mencegah kesewenang-wenangan penetapan seseorang sebagai tersangka ataupun penangkapan dan penahanan, maka setiap bukti permulaan haruslah dikonfrontasi antara satu dengan lainnya termasuk pula dengan calon tersangka. Mengenai hal yang terakhir ini, dalam KUHAP tidak mewajibkan penyidik untuk memperlihatkan bukti yang ada padanya kepada Tersangka, akan tetapi berdasarkan doktrin, hal ini dibutuhkan untuk mencegah apa yang disebut dengan istilah unfair prejudice atau persangkaan yang tidak wajar. Hal tersebut sangat terkait dengan ranah hukum pembuktian, oleh karenanya perlu dijelaskan lebih lanjut perihal pembuktian yang ditulis dalam buku Eddy OS Hiariej tersebut di atas, bahwa dalam konteks hukum pidana, pembuktian merupakan inti dari persidangan perkara pidana, karena yang dicari dalam hukum pidana adalah kebenaran materiil.
2) Bahwa salah satu alat bukti yang digunakan oleh penyidik dalam menetapkan pemohon sebagai tersangka adalah adanya kesaksian yang disampaikan oleh ibu Komariyah dan Endang Widyastuti selaku staf PPAT Achmadin, yang mana keduanya mengatakan bahwa Pemohon adalah orang yang melakukan tindak pidana pemalsuan tersebut. Terhadap BUKTI INI SANGAT JANGGAL, karena sangat jelas terdapat aturan baku didalam suatu akta bahwa yang yang bertanda tangan dihadapan notaris haruslah benar- benar pihak yang ada didalam akta hibah tersebut. Sebagaimana kedua orang tersebut adalah staf yang senior di kantor PPAT Achmadin pastilah sangat mengerti dan memahami aturan tersebut. Kemudian atas keterangan kedua saksi tersebut sama sekali tidak pernah dikonfrontasi kepada Pemohon untuk mencari kebenaran materiil yang sebenarnya. Dalam pemeriksaan Pemohon juga secara nyata telah meminta untuk dilakukan konfrontasi namun diabaikan begitu saja oleh Termohon.
3) Bahwa sangatlah janggal bahwa kesaksian berupa keterangan tersebut diberikan setelah PPAT Achmadin, SH. dijadikan tersangka. Sangatlah janggal pula keduanya tidak dijadikan tersangka oleh Termohon, karena jelas keduanya terlibat langsung sebagai saksi pada kedua akta hibah dan mengetahui secara jelas perkara ini.
4) Bahwa selain saksi, bukti-bukti lain juga tidak pernah disampaikan kepada Pemohon dan dikonfrontasi kepada Pemohon, sehingga seolah-olah pemohon diikat tanpa adanya hak untuk membela diri atau membantah bukti-bukti yang diajukan oleh Pelapor. Dalam hal ini sangat jelas unfair prejudice atau persangkaan yang tidak wajar, yang mana Termohon hanya menggunakan dan menerima begitu saja bukti-bukti yang disampaikan pelapor dalam menetapkan status tersangka kepada Pemohon. Oleh karena itu sangat jelas Termohon sebagai penyelidik dan penyidik telah melanggar pasal 7 ayat (3) KUHAP yang menyatakan “Dalam menjalankan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dan ayat 2, penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku”, sehingga atas penetapan Termohon sebagai tersangka sangatlah tidak memenuhi unsur kewajaran dan mohon dinyatakan tidak sah secara hukum.
Halaman 9 dari 12 Permohonan Praperadilan
5. Kedua Sertifikat Hasil Dari Penghibahan Tidak Pernah Diselidiki Keberadaannya
Sehingga Tidak Ada Kejelasan Kedudukan Hukum Pelapor Saat Melaporkan
Peristiwa Pidana.
1) Bahwa keberadaan Sertifikat yang merupakan hasil dari penghibahan yang diduga adanya unsur pidana tidak pernah diselidiki akan keberadaannya. Termohon percaya begitu saja dengan GAMPANGNYA bahwa Eviyanti tidak pernah mengetahui keberadaan sertifikat tersebut. Padahal menurut ibu Lianawati sertifikat tersebut telah diserahkan kepada Eviyanti. Dan secara hukum menurut pasal 31 ayat (3) PP RI No 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah “Sertifikat hanya boleh diserahkan kepada pihak yang namanya tercantum dalam buku tanah yang bersangkutan sebagai pemegang hak atau kepada pihak lain yang dikuasakan olehnya’’. Bahwa seharusnya Termohon mencari tahu lebih mendalam bagaimana bisa Eviyanti dkk. mendapatkan fotocoy sertifikat yang dijadikan sebagai salah satu bukti yang diserahkan kepada penyelidik dan penyidik. Dan juga bagaimana dengan surat Agus Budiono yang menyatakan sebagai pemilik tanah yang sah ? (dalam bukti).
2) Bahwa pentingnya keberadaan Sertifikat tersebut harus ditemukan untuk memperjelas kedudukan hukum pemilik tanah yang sebenarnya. Seharusnya apabila Eviyanti dkk. tidak mengakui kepemilikan tanah tersebut harusnya membuat surat pernyataan yang tegas bukan sebagai pemilik tanah tersebut. Sangat TIDAK ADIL APABILA PEMOHON DIPIDANA TETAPI KEPEMILIKAN TANAH MASIH BELUM JELAS. Selain itu bagaimana mungkin penyidik dapat menentukan perihal adanya “hak” dan “kerugian” yang merupakan unsur dalam pasal 266 KUHP dan 263 KUHP sedangkan kepemilikan tanah tersebut tidak dijelaskan oleh Eviyanti (pelapor). APABILA PENGHIBAHAN TERSEBUT TIDAK DISETUJUI OLEH PELAPOR, APAKAH MUNGKIN TIMBULNYA SUATU HAK? SEDANGKAN APABILA PENGHIBAHAN TERSEBUT DISETUJUI OLEH PELAPOR APAKAH MUNGKIN TIMBULNYA SUATU KERUGIAN ?. Namun atas fakta tersebut, seolah-olah Termohon tidak memperdulikan dan terus melakukan pemeriksaan hingga Termohon dijadikan tersangka.
3) Bahwa atas kepemilikan tanah tersebut harusnya diperjelas dulu oleh Termohon terhadap kedudukan pelapor, sehingga dalam menentukan unsur-unsur perbuatan pidana menjadi jelas dan terang secara materiil. Oleh karena ketidakjelasan tersebut Pemohon telah melakukan gugatan No. 3/Pdt.G/2018/PN. Gpr. di Pengadilan Negeri Kabupaten Kediri, yang mana surat gugatan ini telah ditunjukkan kepada penyidik. Seharusnya menurut Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1956 (“Perma 1/1956”) dalam pasal 1 Perma 1/1956 tersebut dinyatakan:
“Apabila pemeriksaan perkara pidana harus diputuskan hal adanya suatu hal perdata atas suatu barang atau tentang suatu hubungan hukum antara dua pihak tertentu, maka pemeriksaan perkara pidana dapat dipertangguhkan untuk menunggu suatu putusan Pengadilan dalam pemeriksaan perkara perdata tentang adanya atau tidak adanya hak perdata itu. ”
Jadi, apabila ada suatu perkara pidana yang harus diputuskan mengenai suatu hal perdata atau ada tentang suatu hubungan hukum antara dua pihak tertentu, pemeriksaan perkara pidana tersebut dapat ditangguhkan, menunggu putusan Pengadilan. Penundaan perkara pidana tersebut di atas juga dapat didasarkan pada yurisprudensi MA, putusan No. 628 K/Pid/1984. Dalam putusan ini, MA memerintahkan Pengadilan Tinggi Bandung untuk menunggu adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, yang memutuskan mengenai status kepemilikan tanah.
Halaman 10 dari 12 Permohonan Praperadilan
4) Bahwa atas pemaksaan Termohon yang terus melakukan pemeriksaan terhadap Pemohon tanpa bisa menerangkan siapa pemilik hak atas tanah saat ini padahal Pemohon telah menunjukkan surat gugatan No. 3/Pdt.G/2018/PN. Gpr. maka sangatlah jelas kesewenang-wenangan Termohon dalam melakukan pemeriksaan kepada Pemohon dengan tidak menghormati hak-hak Pemohon untuk mendapatkan keadilan dan kebenaran. Atas kesewenang-wenangan tersebut, berarti pula Termohon sebagai penyidik telah melanggar pasal 7 ayat (3) KUHAP yang menyatakan “Dalam menjalankan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dan ayat 2, penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku’’, sehingga mohon penetapan tersangka atas Pemohon dinyatakan tidak sah secara hukum.
6. Termohon Tidak Cukup Bukti Dalam Menetapkan Pemohon Sebagai Tersangka.
1) Bahwa proses pemeriksaan Laporan Polisi No. K/LP/54/V/2015/Jatim/Res. Kediri tanggal 13 Mei 2015 hingga dikeluarkannya surat pemberitahuan No. B/211 /IX/2017/ Satreskrim dan surat pemanggilan pemeriksaan No. Sp. Pgl/261/IX/2017/Satreskrim yang menyatakan Suncoko sebagai tersangka pada tanggal 14 September 2017, yang mana memerlukan waktu selama sekitar 850 hari adalah SANGAT TIDAK WAJAR untuk kasus yang cukup sederhana ini.
2) Bahwa pada tanggal 9 Agustus 2016, Pemohon menanyakan perkembangan penyidikan kepada Kanit IPTU Priyo Eko H, SH, yang mana beliau menyatakan bahwa proses penyidikan telah selesai dengan ditetapkannya Notaris/PPAT Achmadin, SH. sebagai tersangka, yaitu dengan dirubahnva pengenaan pasal menjadi 264 ayat (l') KUHP, bahkan beberapa kali berkasnya telah dikirim ke Kejaksaan. Namun hingga gugatan ini dibuat, sejak ditetapkan sebagai tersangka selama lebih dari 2 (dua) tahun tersebut Notaris/PPAT Achmadin, SH. belum diproses hingga ke Pengadilan.
3) Bahwa dalam pembicaraan antara Pemohon dan Brigadir Roy Astika sangat jelas bahwa Brigadir Roy Astika menyatakan perkara yang ditangani tidak cukup bukti dan perkara ini sudah dalam proses pengurusan SP3 yang mana sudah 90% final.
4) Bahwa berdasar pada Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor Perkara 21/PUU-XII/2014 Frasa “Bukti Permulaan”, Frasa “Bukti Permulaan Yang Cukup” dan “Bukti Yang Cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP oleh Mahkamah Konstitusi dinyatakan harus dimaknai sebagai “minimal dua alat bukti” sesuai dengan pasal 184 KUHAP.
5) Bahwa berdasar pada argumen-argumen tersebut diatas, maka Pemohon sangat ragu terhadap terpenuhinya 2 (dua) alat bukti yang dimiliki oleh Termohon dalam hal menetapkan Pemohon sebagai Tersangka dalam dugaan tindak pidana menyuruh menempatkan keterangan palsu kedalam suatu akta otentik atau pemalsuan tanda tangan sebagaimana sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 266 KUHP Sub pasal 263 KUHP.
6) Berdasar pada uraian diatas, maka tindakan Pemohon yang tidak memenuhi minimal 2 (dua) alat bukti sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor Perkara 21/PUU-XII/2014, maka dapat dinyatakan tidak sah dan tidak berdasar atas hukum.
Berdasarkan seluruh uraian di atas, maka tindakan atau proses penyidikan yang dilaksanakan oleh Termohon terkait Penetapan diri Pemohon sebagai Tersangka secara hukum adalah juga tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan mengikat. Oleh karena itu, perbuatan Termohon yang menetapkan Pemohon selaku Tersangka tanpa prosedur yang benar dan cacat yuridis/bertentangan dengan hukum, telah mengakibatkan kerugian materil dan immateril yang tidak dapat dihitung dengan uang, namun untuk kepastian hukum dengan ini Pemohon menentukan kerugian yang diderita adalah sebesar Rp. 1.000.000,-(satu juta rupiah).
Halaman 11 dari 12 Permohonan Praperadilan
IV. PETITUM
Dengan demikian, keberadaan lembaga Praperadilan di dalam KUHAP ini bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia yang sekaligus berfungsi sebagai sarana pengawasan secara horizontal atau dengan kata lain, Praperadilan mempunyai maksud sebagai sarana pengawasan horizontal dengan tujuan memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia terutama hak asasi tersangka dan terdakwa. Perlindungan dan jaminan terhadap hak asasi manusia tersebut sudah merupakan hal yang bersifat universal dalam setiap negara hukum. Karena pengakuan, jaminan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia adalah salah satu esensi pokok yang menjadi dasar legalitas suatu negara hukum. Hal inilah yang hendak dicapai Pemohon melalui upaya hukum Praperadilan ini.
Berdasar pada argumen dan fakta-fakta yuridis diatas, Pemohon memohon kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kabupaten Kediri yang memeriksa dan mengadili perkara a quo berkenan memutus perkara ini sebagai berikut:
1. Menyatakan menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan tindakan Termohon menetapkan Pemohon sebagai tersangka dengan dugaan tindak pidana menyuruh menempatkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik dan atau pemalsuan tanda tangan, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 266 KUHP dan atau 263 KUHP oleh Termohon adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum, dan oleh karenanya penetapan tersangka a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
3. Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh Termohon yang berkenaan dengan penetapan tersangka atas diri Pemohon oleh Termohon;
4. Menyatakan bahwa perbuatan Termohon yang menetapkan Pemohon selaku Tersangka tanpa prosedur yang benar adalah cacat yuridis/bertentangan dengan hukum, yang mengakibatkan kerugian sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah);
5. Memerintahkan kepada Termohon untuk menghentikan penyidikan terhadap perintah penyidikan kepada Pemohon;
6. Memulihkan hak Pemohon dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya;
7. Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara menurut ketentuan hukum yang berlaku.
Atau:
Apabila Yang Terhormat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kabupaten Kediri yang memeriksa
Permohonan aquo berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

Pihak Dipublikasikan Ya